Tulisan ini bersumber dari : teknik wawancara mendalam, bahan kuliah S2 by George Aditjondro
SUDAH banyak literatur tentang metodologi penelitian membahas tentang teknik wawancara (interview).
Namun saya tidak puas membaca berbagai literatur yang hanya berbicara
tentang ‘teknik’, dan kurang berbicara tentang filsafat di balik
‘teknik’ atau ‘metode’ itu. Menurut saya, kita perlu mulai dari latar
belakang filsafati, sebelum berbicara tentang ‘teknik’ atau ‘metode’,
apalagi kalau mau berbicara tentang wawancara mendalam (in-depth interview) dan kata kerjanya, in-depth interviewing.
Kalau diperkenankan memberikan kesaksian pribadi, saya mulai mendapatkan insight tentang wawancara mendalam (in-depth interviewing )
selama menjalani interogasi yang total memakan 20 jam di kantor Polsek
Yogyakarta, dari bulan November 1994 s/d Januari 1995, ketika “Negara”
menuduh saya menghina satu lembaganya. Lembaga apa atau siapa? Dalam
surat panggilan tidak disebutkan secara eksplisit. Tapi dari
pertanyaan-pertanyaan para interogator, ternyata yang dimaksudkan adalah
Kepala Negara, waktu itu, Soeharto.
Selama
hari pertama interogasi, pertanyaan-pertanyaan menjurus kepada sejarah
hidup pribadi dan jati diri saya, mulai dari saat ketika saya menjalani
pendidikan dasar (di Banyuwangi, Pontianak, dan Makassar), pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi (di Makassar, Semarang, Salatiga, dan
Ithaca), dan tempat pekerjaan saya (di Jakarta dan Abepura). Menjawab
rentetan pertanyaan itu membuat saya keringat dingin, berulang kali
kencing, dan mengalami stress yang berat,
sampai tekanan darah saya merangkak naik sampai mendekati 200 (batas
atas). Hanya dengan intervensi dokter polisi, interogasi hari pertama
selama 8 jam itu dihentikan.
Apa
yang membuat saya begitu merasa tertekan? Saya merasa “ditelanjangi”
oleh para interogator, yang memainkan permainan yang biasa, polisi baik
dan polisi galak silih berganti. Bukan hanya ditelanjangi secara
pribadi, tapi saya merasa seluruh jaringan perkerabatan dan jaringan
sosial saya ditelanjangi. Semua kawan dan kerabat saya sudah saya
serahkan ke sistem surveillance polisi,
sehingga saya membuat begitu banyak kawan dan kerabat jadi rentan
terhadap kemungkinan diperiksa juga oleh polisi, gara-gara sikap saya
yang, untuk ukuran waktu itu, terlalu ‘nekad’ berbicara tentang
ketamakan seorang presiden, yang selama lebih dari 30 tahun masa
kediktatorannya, memperkaya keluarga dan kroni-kroninya secara luar
biasa.
Jadi intinya adalah, proses interogasi yang dijalankan oleh polisi bukan hanya merupakan sistem pengumpulan data intelijen (intelligence data gathering) untuk kepentingan aparat represif
negara, melainkan juga suatu sistem penjungkirbalikan kekuasaan. Kalau
dalam kehidupan sehari-hari, polisi sering dilecehkan oleh warganegara,
karena demi menghidupi keluarganya, ia sangat tergantung dari pemerasan
para warga, pada saat menjalankan interogasi, sang polisi
menjungkirbalikkan hirarki kekuasaan dengan “menelanjangi” si tersangka,
yang menghadapi risiko diubah statusnya menjadi “terdakwa”, lalu lewat
proses peradilan, yang belum tentu betul-betul adil, dapat ditetapkan
menjadi “terpidana”.
Kita
tidak perlu menjadi ahli filsafat Michel Foucault, untuk mengetahui
struktur kekuasaan di balik interogasi itu. Filsafat Foucault memang
membantu, karena ia berbicara tentang kekuasaan (pouvoir) yang bersaudara kembar dengan pengetahuan (savoir),
dan bahwa kekuasaan tidak hanya menggumpal dalam struktur-struktur
tertentu yang hirarkis, melainkan meresap dalam setiap hubungan sosial.
Namun dengan mengalaminya sendiri, apa yang sering saya ceramahkan atau
kuliahkan kepada mahasiswa dan aktivis, bahwa interview =/= interogasi, menjadi semakin bermakna bagi diri saya.
Lantas, apa sebaiknya menjadi landasan filosofis interview? Mengikuti kegemaran Paulo Freire dalam membongkar-bongkar kata, buatku, interview adalah pertukaran pandangan antara peneliti dan mitranya, dari akar kata “inter” (antar) dan “view” (pandangan). Berarti, bertukar pandangan, atau, dengan terjemahan sedikit bebas, “saling menyelami isi hati”. Jadi, melakukan wawancara mendalam, merupakan suatu proses saling menyelami isi hati.
Yang
saya maksud di sini bukan wawancara dalam rangka psikoanalisa. Juga
bukan wawancara dalam rangka konseling pastoral atau konseling
“sekuler”, sebab dalam kedua setting tersebut tetap dipertahankan hirarki antara pewawancara dan yang diwawancarai. Yang saya maksud di sini, wawancara mendalam (in-depth interviewing) yang bertolak dari paradigma penelitian pembebasan, yang telah saya uraikan dalam Handout No. 2, di mana:
“ peneliti pembebasan …… melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti, bukan sebagai ‘orang kampus’ yang
datang mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi ‘orang kampung’.
Berbeda dengan peneliti konvensional yang bagaikan tupai meloncat dari
satu ‘proyek’ penelitian ke ‘proyek’ lain, peneliti pembebasan
bersama-sama mitra penelitiannya menyusun agenda aksi untuk menegakkan
kedaulatan mereka agar dapat mengembangkan potensi diri mereka secara
penuh. Untuk itu ia harus bersedia memberikan komitmen jangka panjang
untuk bekerja bersama masyarakat mitra penelitiannya.”
Letak
ketimbalbalikan dalam wawancara mendalam adalah, mitra penelitian juga
berhak berkenalan dengan pewawancara dengan seluruh jati dirinya,
mengetahui apa tujuan wawancara, dan penggunaan hasil penelitian yang
pengumpulan datanya dilakukan, antara lain, dengan wawancara mendalam
itu. Dalam penelitian konvensional, khususnya dalam penelitian
antropologi, itu adalah bagian dari penciptaan kepercayaan mitra
terhadap peneliti (rapport creating), yang oleh sebagian
antropolog diatasi dengan mengawini seorang laki-laki atau perempuan
dari komunitas yang ingin ditelitinya. Itu adalah bagian dari apa yang
sering disebut, going native (‘menjadi orang asli’), walaupun
tidak semua peneliti yang menikah dengan perempuan atau laki-laki
setempat, bermaksud ‘menjadi orang asli’.
Selesai
melakukan penelitian lapangan selama setahun, para (calon) antropolog
meninggalkan masyarakat yang ditelitinya, dengan membawa berbagai
artifak sebagai memento (kenang-kenangan) dari masyarakat tersebut,
sekaligus sebagai dekorasi di rumah atau kantornya, untuk mengklaim
legitimasi sebagai orang yang dapat berbicara “atas nama” komunitas yang
sudah ditelitinya.
Berbeda
dengan antropolog yang melakukan penelitian skripsi, tesis, disertasi
doktor dan post-doktoral, buat peneliti pembebasan wawancara mendalam
dapat menjadi “semen perekat” dengan komunitas yang didampinginya. Itu
sebabnya, peneliti harus bersedia “ditelanjangi” oleh para mitranya,
menertawakan ketakutan-ketakutan dan prasangka-prasangka yang dimiliknya
sebelum bergaul dengan intim dengan komunitas itu, dan berbagi rasa
dengan mereka sebagai sesama manusia, bukan sebagai “pakar”.
Sebagai
bagian dari kesetaraan itu, segala macam teknik pencatatan dan
perekaman informasi yang ingin dilakukan oleh peneliti, sebaiknya hanya
dilakukan dengan persetujuan mitra penelitian. Baik itu bersifat
penggunaan alat pencatat, tape recorder, apalagi camcorder.
Denah yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting yang ingin digali
oleh peneliti, sebaiknya juga dimintakan pada mitra untuk
menggambarkannya. Baru kemudian dalam laporan penelitian, denah hasil
karya para mitra itu digambar kembali oleh peneliti atau artis grafik,
apabila memang diperlukan.
DATA YANG DIHARAPKAN
SEPERTI pada questionnaire atau pedoman wawancara, ada tiga kelompok informasi yang dapat diharapkan dari serangkaian wawancara mendalam, yakni:
1. Keterangan tentang jati diri subyek wawancaranya, termasuk kedudukannya dalam komunitasnya;
2. Keterangan
tentang pandangan sang subyek tentang “dunia sekitarnya”, khususnya
tentang hal-hal yang ingin diketahui oleh si pewawancara;
3. Keterangan tentang pandangan sang subyek tentang:
(a) bagaimana ia dapat survive dalam dunia sekitarnya, atau
(b) bagaimana ia dapat mengubah dunia sekitarnya supaya kondisi hidupnya lebih ideal, atau paling tidak, lebih nyaman.
Seringkali,
hal-hal yang menyangkut kelompok informasi kedua memerlukan
percakapan-percakapan yang panjang, tidak langsung, agak berputar-putar,
untuk menggali ingatan-ingatan yang secara sadar atau tidak sadar,
ditekan ke bawah permukaan. Atau, merupakan hal-hal yang kurang nyaman
atau terlalu sensitif untuk dibicarakan dengan si pewawancara yang baru
dikenal. Misalnya, dalam wawancara mendalam dengan perempuan-perempuan
di daerah Poso dan sekitarnya, yang bertujuan menggali ingatan kolektif
mereka tentang kerusuhan dan kekerasan yang tak kunjung berakhir,
pengajuan pertanyaan-pertanyaan itu perlu dilakukan secara sangat
hati-hati. Para perempuan yang diwawancarai, perlu merasa akrab dan
penuh percaya dulu dengan si pewawancara, yang tidak selalu sejenis
kelamin dengan mereka. Kata kuncinya adalah “empati”, kemampuan
merasakan apa yang mereka derita dan bersimpati dengan mereka.
Contoh
lain lagi, adalah kesulitan mewawancarai para pengungsi Timor Leste di
kamp-kamp pengungsian di Timor Barat, kalau orang-orang yang mereka
takuti ada di sekitar mereka, dan dapat mendengarkan seluruh proses
wawancara itu. Makanya, tempat di mana wawancara berlangsung
kadang-kadang sangat penting.
Berbicara
soal tempat, kita harus membedakan wawancara-wawancara menyangkut
peristiwa yang sudah menjadi memori kolektif, yang dapat dilakukan di
warung, di musholla, di mesjid, atau di biara, dan wawancara yang
menyangkut hal-hal yang masih bersifat rahasia (menurut adat istiadat),
sekuriti (menyangkut perlawanan terhadap kekuasaan formal), dan yang
menyangkut hal-hal yang sangat privat, seperti masalah seks.
Hal-hal
yang menyangkut pengalaman traumatis yang berkaitan dengan pelecehan
seksual, praktis hanya akan diungkapkan perempuan korban kepada
pewawancara perempuan, dalam ruang tertutup yang sangat privat pula.
Salah seorang peneliti pelecehan seksual terhadap perempuan,
menceritakan pengalamannya mewawancarai perempuan korban sambil mencuci
rambutnya di kamar mandi. Dalam hal ini, pewawancara kadang-kadang
terikat kaki dan tangannya, untuk tidak mempublikasikan hasil wawancara
mendalam itu. Konfidensialitas itu pernah dilanggar oleh satu kelompok
perempuan di Poso, yang membocorkan hasil wawancara mereka dengan para
perempuan korban kepada pers lokal, yang serta merta menyiarkan
kesaksian para perempuan yang dijuluki Koramil (‘korban rayuan militer’) tersebut.
Sebaliknya,
seorang kawan dari Komnas Perempuan di Jakarta, tidak mau melepas hasil
wawancara dengan para korban mutilasi genital yang dilakukan sekelompok
milisi dari Jawa yang datang ke Seram, kepada seorang peneliti
militerisme seperti penulis sendiri. Terpaksa saya hanya berulangkali
menggunakan tulisan seorang feminis (Hutabarat 2003: 216), serta
hasil-hasil wawancara saya dengan sejumlah narasumber laki-laki, tanpa
mengungkapkan jati diri para korban, dalam berbagai tulisan saya
(misalnya, Aditjondro 2004: 51-2).
KODIFIKASI SEBAGAI ALAT BANTU PENGGUGAH MEMORI
WAWANCARA yang
hanya bersifat interaksi bilateral di antara dua pribadi tetap akan
dipengaruhi struktur kekuasaan terselubung atau ‘hirarki’ di antara
peneliti dan yang diteliti. Makanya, mengikuti pedagogi Paulo Freire,
sebaiknya kegiatan tanya-jawab antara kedua mitra peneliti itu dimediasi
oleh satu atau lebih kodifikasi, yakni representasi dari apa yang
menjadi sorotan bersama (lihat Handout No. 2). Malah, kodifikasi
yang berupa gambar, musik, bunga, atau makanan yang mengeluarkan aroma
tertentu, cocok dengan filsafat Merleau-Ponty, yang menekankan bahwa
manusia lebih dulu belajar dengan pancaindranya, sebelum belajar dengan
otaknya. Semboyan Descartes “aku berfikir, maka aku ada” (cogito ergo sum), digantinya menjadi, “aku mengecap, maka aku ada” (lihat Handout No. 3).
Wawancara
mendalam sebaiknya dilakukan sambil berjalan-jalan di kebun, diselingi
pertanyaan tentang bunga, tanaman obat, atau pohon buah yang tumbuh di
situ, atau sesudah kembali ke rumah, diselingi pertanyaan tentang
foto-foto yang dipajang di ruang tamu, diselingi singgah di dapur, serta
obrolan sembari makan bersama. Proses ini jauh lebih kreatif,
eksploratif, dan egaliter, ketimbang wawancara sambil duduk
berhadap-hadapan, atau bahkan sementara yang diwawancara berbaring di
tempat tidur karena sakit atau lelah (yang mengingatkan kita pada sofa
praktek psikiater).
Ada
satu hal yang harus diperhatikan dalam wawancara mendalam, yang
menggunakan kodifikasi sebagai alat bantu penggugah memori.
Barang-barang tertentu dapat mengundang memori yang sangat mendalam akan
orang-orang yang dikasihi yang sudah meninggal, atau sedang mengembara
untuk waktu yang lama. Menariknya, dari wawancara saya dengan beberapa
orang narasumber yang perempuan, kodifikasi yang paling menggugah memori
mereka bukannya foto orang-orang yang mereka kasihi, melainkan pakaian
yang pernah dipakai sang kekasih semasa hidupnya atau pada saat ia
sedang berada di rumah di tengah pengembaraan yang panjang, serta
buku-buku yang pernah dibacanya atau lama berada di perpustakaan
pribadinya. Baju, yang masih ada di pakaiannya, setipis apapun, lebih
merupakan hal yang peka bagi perempuan ketimbang laki-laki.
Barang-barang
lain, buatan orang yang dikasihi, atau dibeli dalam perjalanan bersama,
juga dapat mengundang memori pasangan atau anak-anak mereka.
Benda-benda mati itu bisa bercerita lewat mulut mereka yang hadir dalam
sejarah masuknya benda-benda itu ke dalam lingkaran anak-anak manusia
itu.
Jadi,
pewawancara yang berempati dengan mitranya, harus berhati-hati sekali
dan cepat menunjukkan empatinya, apabila mitranya meletus dalam luapan
emosi kesedihan apabila barang-barang itu dipertanyakan cerita asal
usulnya. Namun dari sudut penelitian untuk mengungkapkan isi hati mitra
yang sesungguhnya, luapan emosi itu dapat menjadi pembuka jalan untuk
berceritera tentang kejadian-kejadian traumatis yang kaya makna dari
sudut kemanusiaan.
Pewawancara yang sudah mulai dapat menciptakan rapport dengan
mitra dan keluarganya, juga perlu berhati-hati di mana ia duduk di
rumah sang mitra. Boleh jadi, pada saat ia diundang makan di meja makan
bersama mitra dan keluarganya, ia duduk tepat di kursi yang biasanya
dilowongkan untuk sang tokoh yang sudah meninggal dalam peristiwa
traumatis, seperti konflik etno-linguistik atau peristiwa lain yang
berakhir dengan kematian yang tidak wajar. Anak-anak dari ayah yang
meninggal dalam keadaan yang tidak wajar, suka ‘menikmati’ kenangan sang
ayah, dengan menduduki kursi kesayangan sang ayah. Atau, seperti yang
sering dilakukan seorang keponakan perempuan saya, yang ayahnya
meninggal secara tidak wajar, ia suka duduk di depan meja tempat ayahnya
sering melakukan hobinya memperbaiki alat-alat elektronika. Pada saat
ia cuci piring, ia juga sering teringat pada ayahnya, sebab ayahnya
sering membantu dia cuci piring.
Berbeda
dengan interaksi dengan orang dewasa, wawancara mendalam dengan
anak-anak, lebih bagus dimediasi dengan gambar. Dalam Festival Anak
Perdamaian di Kompleks Kantor Sinode GKST di Tentena, sekitar dua bulan
sebelum Deklarasi Malino untuk Poso, pada umumnya yang digambar
anak-anak adalah orang yang memegang senjata, rumah tinggal dan rumah
ibadah yang dibakar, orang yang dibunuh, dan lain sebagainya (lihat Handout No. 3).
Gejala
serupa diamati oleh Andi Baso (26), Ketua Remaja Islam (RISMA) Desa
Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir. Ia menggambarkan efek psikologi
konflik Poso yang diekspresikan anak-anak di wilayahnya dalam
gambar-gambar mereka:
“…
waktu kami mengadakan lomba menggambar, biasanya anak-anak kalau
menggambar gunung berwarna hijau. Tapi waktu itu [sesudah kerusuhan Poso
– GJA] [anak-anak] rata-rata menggambar gunung warna merah. Waktu kami
tanyakan, kenapa gunungnya berwarna merah, anak-anak itu menjawab,
gunungnya terbakar. Yang lain ada juga yang menggambar rumah, warnanya
dua macam, ada yang berwarna merah, dan ada yang berwarna putih.
Anak-anak itu menjelaskan, rumah warna merah milik orang Kristen, dan
warna putih milik orang Islam, jadi kalau ada perang bisa diketahui”
(Ishak 2003: 86).
Berarti,
dalam menggali persepsi dan memori anak-anak, jauh lebih efektif dari
pada melakukan wawancara dengan kata-kata, adalah memberikan kertas dan
pinsil warna kepada anak-anak, untuk menggambarkan kesan mereka tentang
topik yang ingin kita teliti.
Kesimpulannya,
serangkaian wawancara mendalam yang berhasil, tidak terbatas pada
proses tanya-jawab yang bilateral, seperti dalam interogasi maupun
psikoanalisa, melainkan dalam interaksi antara dua manusia atau lebih,
dimediasi oleh berbagai kodifikasi yang mengingatkan sang mitra akan
“dunia” dengan siapa ia punya hubungan emosional yang kuat. Entah cinta,
maupun benci.
METAFOR DAN IDIOM-IDIOM YANG SARAT MEMORI
PERCAKAPAN-percakapan
yang ’berhasil’, seringkali melahirkan ucapan-ucapan berupa metafora
atau idiom, yang dapat dijadikan ’pegangan’ dalam percakapan lebih
lanjut dengan para mitra. Dalam percakapan awalnya dengan seorang saksi
mata gejolak sosial pasca-referendum di Timor Leste, seorang mahasiswa
IRB menemukan, bahwa respondennya itu suka-suka mengulang-ulang
kata-kata ”sapi makan bangkai”, ketika bercerita tentang pelariannya
dari enclave Oikussi (yang termasuk Timor Leste) ke Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT.
Kata-kata
itu tidak perlu ditafsirkan secara harafiah, sebab sejak kapan sapi
yang herbivora, menjadi karnivora? Kata-kata itu mungkin merupakan
indikator banyaknya mayat manusia yang bergelimpangan, sehingga
sapi-sapi hampir tidak punya tempat untuk merumput. Ungkapan itu dicatat
oleh sang mahasiswi, untuk menjadi salah satu pegangan dalam rencana
penelitiannya bersama para pengungsi Timor Leste yang terpaksa (atau
dipaksa?) menetap di Timor Barat, yang sudah memasuki tahun ketujuh.
Idiom
dari Timor itu mengingatkan saya pada istilah yang muncul setelah
konflik Poso, 1998-2000, yakni bahwa ”kalau di Palu orang makan ikan, di
Poso ikan makan orang”. Ungkapan ini timbul karena banyak mayat korban
yang hanyut atau dibuang ke Sungai Poso, kemudian dimakan oleh ikan di
muara sungai itu.
Metafor-metafor,
idiom-idiom atau ungkapan-ungkapan yang ’tidak biasa’ seperti itu
penting untuk dicatat, untuk dijadikan pijakan percakapan lebih lanjut
antara peneliti dan mitranya. Sebab, mungkin tanpa kita sadari, dalam
percakapan lisan orang banyak sekali menggunakan metafor. Sebab metafor
dan idiom adalah ”wahana” orang untuk menyampaikan ide-ide yang lebih
kompleks, atau ide-ide yang sarat emosi (Lakoff & Johnson 1980).
Metafor-metafor
yang paling populer juga menunjukkan transformasi kita dari masyarakat
agraris ke masyarakat pasca agraris, sebagaimana terungkap dalam
eksplorasi di kelas mata kuliah Metodologi Penelitian IRB, yang
menemukan segudang (metafor!) metafor yang menggunakan sifat-sifat ayam.
Misalnya: kamar berantakan seperti kandang ayam; tulisan seperti cakar ayam; tidur-tidur ayam sambil mendengarkan kuliah; panas-panas tahi ayam; ayam kampung untuk menggambarkan PSK lokal; ayam kampus untuk menggambarkan mahasiswi yang berdwifungsi sebagai PSK; jago kandang untuk menggambarkan laki-laki yang hanya berani menunjukkan kekuasaannya di lingkungannya sendiri.
Daerah-daerah
konflik seperti Aceh (dulu) maupun di Poso (masih), sangat kaya dengan
metafor-metafor yang menggambarkan pelecehan seksual oleh personil
aparat bersenjata, sehingga bentuk perlawanan kultural rakyat setempat. Seiring
dengan pergeseran dominasi militer yang mulai membagi peranan dengan
polisi sebagai ‘penjaga keamanan’ di daerah-daerah konflik,
istilah-istilah plesetan itu juga bergeser dari Koramil (‘korban rayuan militer’) dan Babinsa (babini di sana-sini, beristeri di sana-sini) ke SSB (sisa-sisa Brimob) dan Selebrites (selera Brimob & Perintis). Sedangkan di Aceh ada pemaknaan lain buat Kopassus, yakni korps pegang susu (Aditjondro 2006).
Namun
pada saat yang sama, muncul pula berbagai istilah untuk melecehkan
perempuan setempat yang mau berpacaran dengan personil aparat
bersenjata, seperti “perempuan gatal”, “perempuan organik” (bandingkan
dengan ‘senjata organik’), dan “penggoda”. Sedangkan di Poso, khususnya
di daerah Tentena yang kini dihuni ribuan pengungsi Nasrani yang lari
dari kota Poso dan sekitarnya, muncul istilah tapol, singkatan dari tampa bapolo’ (tempat berpelukan) bagi perempuan setempat yang mau berpacaran dengan anggota TNI dan Polri, yang dikonotasikan sebagai PSK (idem).
Metafor-metafor yang lebih bersifat labeling itu
juga diterapkan terhadap anak-anak yang lahir akibat ulah para personil
aparat bersenjata yang menjadikan perempuan setempat sebagai obyek
hiburan mereka. Timbul istilah “Kostrad Kecil” atau “Brimob Kecil”
(Hutabarat 2003: 218), yang dapat menimbulkan stigma kepada bocah-bocah
tak bersalah itu. Namun kalau itu memang muncul dari percakapan dengan
orang-orang dewasa, peneliti perlu mencatatnya, mengkajinya bersama para
orang tua, tapi tidak menggunakannya di depan dan kepada anak-anak di
daerah konflik.
PENUTUP
BEGITULAH
gambaran singkat penulis tentang teknik wawancara mendalam, yang
dilakukan dalam paradigma penelitian pembebasan. Wawancara mendalam
hendaknya menjauhi hal-hal yang mengukuhkan struktur kekuasaan dan
hirarki antara peneliti dan yang diteliti, dan melepaskan diri dari
proses tanya-jawab yang hanya berputar pada kata-kata, dengan mediasi
berbagai bentuk kodifikasi yang sudah hadir di tengah-tengah lingkungan
mitra penelitian, serta ’berpegang’ pada metafor-metafor yang muncul
dari memori dan mulut para mitra wawancara.
Yogyakarta, 6 Mei2006Sumber: http://saurlin.blogspot.com/2007/04/teknik-wawancara-mendalam.html
No comments:
Post a Comment